Sejarah mencatat, betapa saat datang, ajaran Islam terbukti mampu menyatukan suku-suku di kawasan jazirah Arab, yang notabene tradisi, watak dan budayanya keras, kaku, kerap kali berseteru dan juga suka berperang. Pola pikir primitif seperti ini menyebabkan zaman itu disebut sebagai zaman jahiliyah.
Islam datang dan menyatukan mereka dalam sebuah ikatan persaudaraan luhur yang seakidah dan sekeyakinan. Hal itu sebagaimana dikatakan dalam Alquran QS. Ali Imran 103: “Dan berpeganganlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai berai. Dan ingatlah nikmat Allah, di saat kalian saling bermusuhan, kemudian Dia mendamaikan diantara hati kalian, lalu dengan nikmat-Nya kalian bersaudara.
Tali persaudaraan inilah yang seharusnya mengikat kaum muslimin dibawah naungan panji Islam. Dan tali persaudaraan inilah yang juga seharusnya menjadi ruh penyemangat kita dalam meniti berliku-likunya jalan kehidupan dengan tetap berpegangan pada sendi-sendi ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw. Namun, layaknya sebuah etape dan episode perjalanan hidup, sekaligus sebagaimana lumrahnya dinamika dalam sebuah komunitas masyarakat, akan selalu terjadi riak-riak kecil, bahkan mungkin juga gelombang besar yang menguji kokohnya bangunan bahtera kehidupan.
Jurnalisme Gosip
Dalam konteks kehidupan terkini, riak-riak kecil itu antara lain, sebagaimana yang kita alami saat ini, disebabkan oleh fenomena merebaknya informasi tak bertanggung jawab dari kalangan fasik atau orang-orang yang taat beribadah.
Alquran, jauh hari sudah mengingatkan dalam Surat Al-Hujurat: 6; “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” Sejarah pada awal generasi Islam pun juga selayaknya bisa dijadikan pelajaran untuk kita semua. Betapa akibat kecerobohan dalam menyikapi sebuah informasi, terjadilah kegoncangan hebat dikalangan kaum muslimin saat itu. Yakni haditsul ifki, gosip yang melanda ummul mukminin Sayyidah Aisyah ra.
Maka, dalam konteks hubungan keumatan dalam tubuh kaum muslimin saat ini, demikian pula dalam proses pendewasaan diri dalam berbangsa dan bernegara dewasa ini, sekaligus sebagai upaya untuk melawan berita palsu, fitnah, dan juga hoax, perlu dan bahkan penting dikembangkan tradisi tabayun atau klarifikasi dalam setiap informasi yang berkembang di masayarakat. Jikalau ada informasi negatif tentang diri dan kepribadian orang atau pihak lain, terlebih lagi sesama muslim, maka prinsip husnudzan atau praduga tak bersalah harus menjadi pijakan awal dalam menyikapinya, sebelum kemudian melakukan tabayun. Hal lain yang juga harus diwaspadai di era digital ini adalah tajassus,atau mencari-cari kesalahan orang lain, dan juga ghibah atau menggunjing. Keduanya, baik tajassus ataupun ghibah memiliki kadar bahaya yang sangat tinggi. Terlebih di era informasi yang jumlahnya sudah sangat tak terbatas seperti saat ini.
Demi ihwal tajassus dan juga ghibah ini, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”(QS. Al-Hujurat : 12) Tatkala prasangka buruk dilarang oleh Allah swt., bukan berarti seseorang diharuskan mencari kepastian tentang kebenaran dari berita tersebut, yang ujungnya akan melahirkan tajassus, atau mencari-cari kesalahan orang lain. Jika berita yang beredar tak membutuhkan tabayyun atau klarifikasi dikarenakan terkait privasi seseorang, maka tak perlu antar sesama saling mencari-cari kesalahan. Justru kita diperintahkan untuk menutupi aib atau kesalahan pribadi orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan orang lain atau kepentingan umum.
Lebih dari itu, ihwal ghibah atau menggunjing, Imam An-Nawawi mengkategorikannya dalam dosa besar. Dalam surat Al-Hujurat di atas, dimetaforkan bahwa menggunjing terhadap saudara seiman sama halnya dengan memakan daging saudaranya tersebut dalam keadaan mati. Jikalau seseorang dipotong dagingnya pastilah ia akan merasa kesakitan yang luar biasa. Bukankah akan lebih sakit lagi jika ia dipotong kehormatannya. Watak tajassus dan ghibah ini sangat berbahaya jika menjangkiti media pemberitaan. Media sudah tidak akan mengabarkan berita dan informasi yang jernih dan proporsional. Produk yang lahir dari watak media yang seperti ini adalah jurnalisme gosip.
Formula Ishlah
Jikalau memang terjadi perselisihan, sudah semestinya perselisihan tersebut tidak dibiarkan berlarut-larut. Harus segera diupayakan jalan ishlah atau perdamaian di antara keduanya. Karena sesama muslim adalah bersaudara. Allah ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”(QS. Al-Hujurat : 10) Jalan ishlah akan lapang terbuka, jika masing-masing pihak mengedepankan sikap saling mengalah, dan mencari titik temu di antara dua kepentingan yang menjadi pangkal sengketa. Hal tersebut akan terwujud jika masing-masing pihak tidak mencela, mengolok-olok dan menganggap rendah pihak lain. Serta dia tidak merasa tinggi diri dan paling benar, apalagi paling baik di hadapan Allah SWT.
Imam Al-Ghazali pernah menyatakan bahwa terhadap siapapun, kita tak selayaknya menyombongkan diri. Karena kita tidak akan tahu dengan keadaan bagaimana hidup kita berakhir, husnul khatimah-kah, ataukah su’ul khatimah? Tetap dalam keimanan-kah, ataukah berakhir tanpa membawa iman? Pertanyaan sekaligus pernyataan yang harus benar-benar kita renungkan dalam-dalam. Walhasil, di era pergunjingan, fitnah, dan juga bertebarnya berita hoax seperti saat ini, yang perlu kita kedepankan adalah sikap waspada sekaligus tetap selektif dan verifikatif terhadap setiap informasi yang kita terima. Ketiga usaha tersebut menurut penulis merupkan bagian penting dari literasi media sosial.
Wallahua’alam.
Oleh: HM. Abdul Muid Shohib