Pesantren dan Internet: Sebuah Refleksi dalam Prespektif Culture Lag

Tulisan ini beranjak dari pandangan umum yang masih kuat hingga saat ini bahwa

pesantren adalah sebuah subkultur (sub-culture) dalam pengertian sebagai gejala yang unik, otonom, dan cenderung terpisah dari dunia luar. Seperti diungkapkan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (2001), labelisasi pesantren sebagai subkultur tidak lepas dari adanya tiga elemen dasar yang melekat dalam kehidupan pesantren, yaitu: (1) cara hidup yang dianut, (2) pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, dan (3) hirarki kekuasaan internal yang ditaati sepenunya.

Pandangan bahwa pesantren adalah subkultur juga diperkuat oleh Said Aqil Siraj

(2006). Ketua Umum PBNU yang sering disapa akrab dengan “Kang Said” ini bahkan menyatakan bahwa selain sebagai “makelar  budaya” (cultural broker), pesantren juga berfungsi sebagai “filter budaya” (cultural filter) yang menyaring berbagai unsur luar yang tampak lebih dominan dalam rangka menjamin keutuhan Islam. Karakter seperti inilah, tegas Kang Said, yang menjadi alasan kenapa pesantren bisa eksis dalam kurun waktu yang sangat panjang. Namun, lanjut Kang Said, karakter itu tidak lantas membuat pesantren

bersifat statis. Sepanjang sejarahnya, pesantren memiliki dinamime yang bersifat adaptatif terhadap kemajuan di luarnya, sejauh tidak berbenturan dengan pandangan hidup dan tata nilai yang diyakni.

Dalam ungkapan Rayhani (2009), dalam merespon dunia luar, pesantren cenderung menempuh “caranya sendiri” (in its own way); ada yang cepat tetapi juga ada yang

lamban. Respon cepat biasanya ditunjukkan oleh pesantren modern (khalaf), sementara respon lamban biasanya ditunjukkan oleh pesantren tradisional (salaf).

Predikat sebagai “subkultur”, “makelar budaya”, dan sekaligus “filter budaya” di atas menarik ketika dibawa pada konteks era informasi saat ini, di mana pesantren sudah mulai berjumpa dengan internet.

Seiring dengan akselerasi teknologi yang begitu massif selama tiga dekade terakhir, masyarakat dunia saat ini telah menjelma menjadi apa yang oleh para pakar ilmu social disebut dengan “masyarakat informasi” (information   society) atau “masyarakat digital” (digital society) yang sebenarnya merupakan pengembangan terminologis dari “masyarakat pasca industri” (post-industrial  society).

Mengacu kepada prediksi futuristik Alvin Toffler (1980), masyarakat yang dia sebut dengan “super post-industrial society” ini merupakan wujud dari gelombang ketiga (third wave) perkembangan peradaban manusia, yakni dari masyarakat agraris, masyarakat industri, dan kemudian masyarakat pascaindustri (masyarakat informasi); sebuah prediksi yang kemudian menjadi kenyataan.

Dalam konteks perjumpaan dengan internet, pesantren menghadapi tantangan serius sekurang-kurangnya pada dua hal. Pertama, internet saat ini merepresentasikan apa yang oleh Marshal McLuhan (1962) sebagai “kampung global” (global village), di mana dunia dengan adanya media elektronik publik — saat itu adalah radio dan televise — telah menyempit begitu rupa selayaknya sebuah kampungbesar.

Mari berbagi:

Tinggalkan Balasan