Mengenal Pesantren #1; Komponen dan Variannya
Komponen Pesantren
Dalam pandangan masyarakat mengenai istilah pesantren mereka juga menggap sebagi pondok dan dan pondok juga pesantren itu sendiri, sehingga hampir tidak ada perbedaan yang signifikan kaitannya subtansi sehingga terkadang juga digabung dua kata tersebut menjadi satu yaitu menjadi “pondok pesantren”. Namun pada dasarnya mempunya makna yang sama. Menurut M. Arifin dalam buku Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem kompleks/asrama dimana santri menerima pendidikan agama melalui sitem pengajian madrasah yang sepenuhnya kedaulatan berada pada seorang kiai yang mempunyai karismatik serta independent dalam segala hal.[1]
Untuk mengetahui, apakah sebuah tatanan lembaga pendidikan itu bisa disebut pondok pesantren atau tidak, maka kita mengenal setidaknya empat elemen pondok pesantren; Pertama, adanya masjid atau mushalla. Masjid atau mushalla merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dari pesantren dan dianggap sebagai tempat yang tepat untuk mendidik para santri, khususnya dalam amaliah mereka. Kedua, pembelajaran kitab kuning. Dari abad ke abad, hingga era sekarang, pembelajaran kitab kuning merupakan pengajian formal di lingkungan pondok pesantren yang bertujuan untuk mendidik dan mempersiapkan calon kiai atau ulama masa depan. Ketiga, santri, yang merupakan calon kiai baru. Keempat, kiai, yang merupakan elemen paling esensial dalam pesantren. Kiai di pesantren sering disebut sebagai pendiri atau juga pengasuh pesantren. Dari pesantrenlah bermunculan para kiai muda penerus perjuangan Rasulullah dan para ulama, khususnya Wali Songo.[2]
“Kiai” merupakan sebutan khas Jawa untuk seorang ulama. Orang Jawadan Madura lebih mengenal kata kiaiketimbang ulama. Kiai biasanya memiliki kekuatan kharismatik dan dianggap sosok yang spesial. Para kiai merupakan orang-orang pilihan yang menjadi panutan, terutama bagi mereka yang memposisikan dirinya sebagai santrinya.[3] Dalam bahasa Jawa, kiai adalah sebutan bagi ‘Ālim ‘ulamā’, cerdik pandai dalam agama Islam. Kata kiai bukan dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa. Kata kiai mempunyai makna agung, keramat dan dituahkan. Perkataan kiai dipakai untuk tiga gelar yang berbeda, yaitu; pertama, untuk benda-benda yang dituahkan dan dikeramatkan di Jawa seperti tombak, keris, dan benda-benda lain yang keramat disebut kiai[4]; kedua, gelar kiai diperuntukkan bagi laki-laki yang sudah lanjut usia, arif dan bijaksana[5]; dan ketiga gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.[6] Tetapi ada juga sebutan kiai ditujukan untuk yang ahli agama, tanpa memiliki lembaga pondok pesantren atau tidak menetap dan mengajar di pondok pesantren, tetapi mengajarkan pengetahuan agama dengan cara berceramah dari desa ke desa, menyampaikan fatwa agama kepada masyarakat luas.[7]
Sedangkan “Santri”, menurut penelusuran Cak Nur, diasumsikan berasal dari dua sumber yang dapai dipakai sebagai acuan. Pertama, santri barasal dari bahasa Sansekerta “santri” yang berarti melek huruf. Kalangan santri diduga merupakan kelas literary yang mahir menguasai berbagai referensi, khususnya kitab-kitab kuning yang berbahasa Arab. Kedua, santri berasal dari bahasa Jawa “cantrik”, yang artinya seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana pun guru itu pergi dan menetap. Dia akan selalu mengikuti dan bersama gurunya selagi proses tranformasi ilmu belum dianggap selesai.[8]
Varian Pesantren
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami perkembangan bentuk sesuai dengan perubahan zaman, terutama adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan bentuk pesantren bukan berarti pesantren kehilangan ciri khasnya. Sistem pesantren adalah sarana yang berupa perangkat organisasi yang diciptakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang berlangsung dalam pesantren. Secara faktual, varian pesantren dapat dipolakan pada dua tipe atau pola, yaitu berdasarkan bangunan fisik dan berdasarkan kurikulum. Berdasarkan bangunan fisik atau sarana pendidikan yang dimiliki, pesantren mempunyai lima varian,[9] yaitu:
Varian | Sarpras | Keterangan |
1. | · Masjid
· Rumah Kiai |
Pesantren ini masih bersifat sederhana, di mana kyai menggunakan masjid atau rumahnya sendiri untuk mengajar. Tipe ini santri hanya datang dari daerah pesantren ini sendiri, namun mereka telah mempelajari agama secara kontinyu dan sitematis.
Metode pengajaran: wetonan dan sorongan. |
2. | · Masjid
· Rumah Kiai · Pondok/asrama |
Tipe pesantren ini telah memiliki pondok atau asrama yang disediakan bagi santri yang datang daerah di luar pesantren.
Metode pengajaran: wetonan dan sorongan. |
3. | · Masjid
· Rumah Kiai · Pondok/asrama · Madrasah |
Pesantren ini telah memakai sistem klasikal, santri yang tinggal di pesantren mendapat pendidikan di madrasah. Adakalanya santri madrasah itu datang dari daerah sekitar pesantren itu sendiri. Di samping sistem klasikal, kyai memberikan pengajian dengan sistem wetonan. |
4. | · Masjid
· Rumah Kiai · Pondok/asrama · Madrasah · Tempat keterampilan |
Dalam tipe ini di samping memiliki madrasah, juga memiliki tempat-tempat keterampilan. Misalnya: peternakan, pertanian, tata busana, tata-boga, toko, koperasi, dan sebagainya. |
5. | · Masjid
· Rumah Kiai · Pondok/asrama · Madrasah · Tempat keterampilan · Perguruan Tinggi · Gedung Pertemuan · Tempat Olahraga · Sekolah Umum |
Tipe pesantren ini sudah berkembang dan bisa digolongkan pesantren mandiri. Pesantren ini seperti ini telah memiliki perpustakaan, dapur umum, ruang makan, rumah penginapan tamu, dan sebagainya. Di samping itu pesantren ini mengelola SMP, SMA dan SMK. |
Sementara berdasarkan kurikulum atau sistem pendidikan yang dipakai, pesantren mempunyai tiga tipe, yaitu:
- Pesantren Tradisional (salaf)
Pesantren ini masih mempertahankan bentuk aslinya dengan mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama abad ke-15 dengan menggunakan bahasa Arab. Pola pengajarannya dengan menerapkan sistem halaqah atau mangaji yang dilaksanakan di masjid. Hakikat dari sistem pengajaran halaqah ini adalah penghapalan yang titik akhirnya dari segi metodologi cenderung kepada terciptanya santri yang menerima dan memiliki ilmu.[10] Artinya ilmu tidak berkembang ke arah paripurnanya ilmu itu, melainkan hanya terbatas pada apa yang diberikan kyai. Kurikulum sepenuhnya ditentukan oleh para kyai pengasuh pondok.
- Pesantren Modern (khalaf/’Ashrī)
Pesantren ini merupakan pengembangan tipe pesantren karena orientasi belajarnya cenderung mengadopsi seluruh sistem belajar klasik al dan meninggalkan sistem belajar tradisional. Penerapan sistem belajar modern ini terutama tampak pada penggunaan kelas belajar baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum nasional.[11] Kedudukan para kyai sebagai koordinator pelaksana proses pembelajaran dan sebagai pengajar di kelas. Perbedaannya dengan sekolah dan madrasah terletak pada porsi pendidikan agama Islam dan bahasa Arab lebih menonjol sebagai kurikulum lokal.
- Pesantren Komprehensif (syāmilī).
Tipe pesantren ini merupakan sistem pendidikan dan pengajaran gabungan antara tradisional dan modern.[12] Pendidikan diterapkan dengan pengajaran kitab kuning dengan metode sorongan, bandongan dan wetonan yang biasanya diajarkan pada malam hari sesudah salat Magrib dan sesudah salat Subuh. Proses pembelajaran sistem klasikal dilaksanakan pada pagi sampai siang hari seperti di madrasah/sekolah pada umumnya.
Ketiga tipe pesantren tersebut memberikan gambaran bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang berjalan dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Dimensi kegiatan sistem pendidikan dilaksanakan oleh pesantren bermuara pad a sasaran utama yaitu perubahan baik secara individual maupun kolektif. Perubahan itu berwujud pada peningkatan persepsi terhadap agama, ilmu pengetahuan dan teknologi. Santri juga dibekali dengan pengalaman dan keterampilan dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia.[13]
[1] M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Agama dan Umum, (Jakarta:Bumi Aksara,1991), halaman 240.
[2] Hanun Asrohah, Pelembagaan Pesantren, Asal-usul dan Perkembangan Pesantren di Jawa (Disertasi UIN Jakarta). Juga Abdurrahman Mas’ud, “Sejarah Pesantren dari Walisanga hingga Kini,” Jurnal Yustisia, edisi 18, VII (2000), halaman 32.
[3] Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1999), halaman 87.
[4] W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesai, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), halaman 505.
[5] Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng, (Malang:Kalimasada Press, 1993), halaman 13
[6] Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1994), halaman 55
[7] Sukamto, Kepemimpinan, halaman 85.
[8] Nurcholish, Bilik, halaman 19.
[9] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Cetakan II (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), halaman 66.
[10] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), halaman 157; Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, halaman 42
[11] M. Bahri Ghazali, Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan: Kasus Pondok Pesantren An-Nuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Madura, Cetakan I (Jakarta: Pedoman Ilmu, 2001), halaman 14; Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1994), halaman 44.
[12] M. Bahri, Pendidikan; M.D. Nafi’, Praktis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: Instite For Training and Development Amherst, MA Forum Pesantren dan Yayasan Selasih, 2007), halaman 17.
[13] Muhammad Idris Usman, Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam, (Parepare: Al-Badar DDI), halaman 17.