Konsep Pendidikan Sufistik Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari
SYEKH IBNU ATHAILLAH AS-SAKANDARI
Beliau bernama lengkap Tajuddin[1] Abu al-Fadl[2] Ahmad[3] bin Muhammad bin Abdul Karim bin Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin al-Husain bin Athaillah al-Juḍami al-Maliki[4] al-Iskandari atau as-Sakandari al-Qarafi as-Sufi asy-Syaḍili.[5] Tidak ada keterangan pada tahun berapa beliau dilahirkan, hanya saja perkiraan beliau dilahirkan pada pertengahan abad ketujuh hijriyah. Beliau lahir di kota Iskandariah, Mesir dan wafat pada bulan Jumadal Akhirah tahun 709 H/1309 M di Madrasah al-Manshuriyah, Kairo Mesir dan dimakamkan di Qarafah.[6]
Kehidupan Syekh Ibn Athaillah bisa dibagi ke dalam tiga fase: pertama dankedua, ketika dia hidup di Iskandariah, dan ketiga ketika dia hidup di Kairo. Fase pertama ketika beliau berada di Iskandariah adalah sebelum 673 H. Saat itu, kota Iskandariah adalah pusat ilmu pengetahuan di Mesir, sehingga ia memiliki kesempatan belajar ilmu-ilmu keislaman secara sempurna, seperti fikih, usul fikih, tafsir, hadis, bahasa, adab, dan lain-lain.[7] Pada periode ini Syekh Ibnu Athaillah belajar banyak ilmu lahir, sehingga pada saat itu, beliau kurang sependapat dengan pandangan ilmu tasawuf. Tentang hal ini beliau berpendapat, bahwa di luar hukum, tak ada lagi yang bisa dicari. Barulah pada fase berikutnya, ketika beliau belajar kepada Abul Abbas al-Mursi, beliau mulai masuk ke dalam dunia tasawuf dan menjadi salah satu ahli tasawuf terkemuka.[8]
Pada fase kedua, fase di mana Syekh Ibnu Athaillah mulai masuk ke dunia tasawuf. Saat itu, Syekh Ibn Athaillah masih tinggal di Iskandariah, ketika ia bertemu dengan Syekh Abul Abbas, Ahmad bin Umar bin Muhammad al-Mursi al-Andalusi al-Anshari (w.686 H/1288 M).[9] Selain kepada al-Mursi, Syekh Ibnu Athaillah juga belajar ilmu tasawuf kepada Syekh Abu al-Hasan Ali bin Abdillah as-Syaḍili (w. 656 H). Beliau adalah tokoh nisbat pertama ṭarīqah syāḍiliyah yang juga guru dari Abu al-Abbas al-Mursi. Sehingga dua tokoh ini dikenal sebagai orang yang paling berpengaruh pada pemikiran Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari, khususnya di bidang tasawuf.[10] Selain itu, beliau juga berguru kepada Syekh Yaqut al-Arsyi yang juga merupakan murid dari Syekh Abu al-Abbas al-Mursi.[11]
Pada fase ketiga, yaitu masa di mana Syekh Ibn Athaillah pindah dari Iskandariah ke Kairo, menjadi guru tasawuf dan mursyid ṭarīqah syāḍiliyah di sana. Hal itu setelah gurunya, yaitu al-Mursi wafat pada 686 H/1288 M di Iskandariah. Bahkan sebelum fase ketiga pun, Syekh Ibnu Athaillah juga telah mengajar ilmu fikih di Kairo, karena memang beliau dikenal sebagai salah satu pakar fikih mazhab Malikiyah. Semula ia menginginkan aktifitas mengajar hukum dan kesibukan dunia lainnya, tetapi al-Mursi melarangnya, karena tidak ada halangan bagi pengikut Syaḍiliyah untuk tetap beraktifitas sosial di masyarakat. Ia pun tetap mengajar fikih Mazhab Malikiyah di Universitas al-Azhar Kairo dan Madrasah al-Mashuriyah Kairo yang didirikan Sultan al-Mansur Sayf al-Din Qalawun (678-689 H) di lingkungan kesultanan priest.
Dari didikan Syekh Ibnu Athaillah, banyak lahir tokoh-tokoh dalam berbagai bidang ilmu keislaman, seperti Imam Taqiy al-Din al-Subki (w. 756 H) penulis kitab Ṭabaqāt al-Syafi’iyyah al-Kubrā, Ahmad bin Idris al-Qarafi (w.684 H) penulis kitab anwār al-burūq fī anwā’ al-furūq dan al-yawāqīt fī ahkām al-mawāqīt, dan Dawud bin Umar bin Ibrahim al-Syaḍili al-Iskandari (w. 733 H) pengarang kitab al-laṭīfah al-mardliyyah fīsyarḥduā’ al-syāḍiliyyah dan mukhtaṣar at-talqīn.[12]
PENDIDIKAN SUFISTIK AS-SAKANDARI
- Hakikat Manusia Menurut As-Sakandari
Syekh Ibnu Athaillah lebih banyak melihat manusia bukan dari sudut pandang esensi[21] (hakikatnya dalam lingkup dirinya sendiri), melainkan dilihat dari sudut eksistensi vertikal, yakni hakikat manusia dalam kaitannya dengan yang lain – dalam hal ini kaitannya secara vertikal kepada Allah swt. Secara esensi, substansi manusia tidaklah melebihi dari seonggok daging dan tulang serta serangkaian unsur kehidupan di dalamnya. Secara esensi ini manusia hampir tidak ada bedanya dengan hewan. Hanya kemampuan kecerdasan lebih (nalar, nutq) yang merupakan substansi pembeda antara manusia dan hewan. Dengan nalar, manusia mampu menyimpan data dan merangkainya menjadi data-data baru, sehingga dia mampu melakukan sesuatu yang tak bisa dilakukan hewan karena tingkat kecerdasan hewan memang lebih rendah.
Sedangkan secara eksistensi, manusia berada di skala tertinggi di antara makhluk hidup lain di muka bumi, yang karena itulah membuatnya menjadi khalīfah (sang penguasa, sang pengemban amanah). Dalam eksistensi pula, manusia menjadi makhluk sosial, membentuk komunitas, dan bergerak dalam organisasi besar dengan segala ragam dan perbedaan manusia itu sendiri. Manusia juga merupakan bagian dari kosmik fisik alam semesta dan alam metafisik. Dari eksistensi inilah manusia bisa disebut baik-buruk, cantik-jelek, dan lain sebagainya dengan melihat aktualitas dirinya saat bersinggungan dengan yang lain.
Sekali lagi, Syekh Ibnu Athaillah memandang manusia lebih kepada eksistensi vertikalnya, yakni manusia sebagai ciptaan dari Sang Pencipta, sebagai hamba dari Sang Maha Disembah, sebagai makhluk yang diminta untuk kembali pada Sang Khalik. Karena itulah, Syekh Ibnu Athaillah mengatakan:[22]
جَعَلَكَ فِى العَالَمِ المُتَوَسِّطِ بَيْنَ مُلْكِهِ وَمَلَكُوْتِهِ لِيُعَلِّمَكَ جَلَالَةَ قَدْرِكَ بَيْنَ مَخْلُوْقَاتِهِ، وَأَنَّكَ جَوْهَرَةٌ تَنْطَوِي عَلَيْكَ أَصْدَافُ مُكَوَّنَاتِهِ (الحكمة 238)
Dia menempatkanmu berada di tengah antara alam mulk-Nya (alam kekuasaan-Nya yang bersifat fisik) dan alam malakūt-Nya (alam kekuasaan-Nya yang bersifat ruh/metafisik), hal itu untuk mengajarimu betapa agungnya dirimu di antara sekalian makhluk, dan betapa dirimu adalah mutiara di antara untaian lingkaran makhluk-Nya.
Dari hal itu, manusia terdiri dari dua substansi. Pertama, substansi fisik yang terbuat dari lumpur dan unsur tanah, air, api, dan udara. Kedua, substansi ruhani dengan memiliki potensi yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.Pada substansi kedua inilah manusia memiliki ruh dengan kelengkapan perasaan yang berbeda dengan makhluk hidup lainnya, juga ada akal budi yang mampu membuatnya melakukan yang disebut al-fikr (berpikir) dan al-idrāk (menyadari). Potensi pertama adalah sisi jasad yang terbuat dari unsur-unsur fisik yang itupun berbeda dari hewan lainnya jika dilihat dari perkembangan dan kemampuannya. Sedangkan potensi kedua merupakan sisi yang mampu berkembang menuju alam metafisik ruhani, karena ada ruh, kesadaran, dan akal budi serta rahasia-rahasia Tuhan yang ditanamkan di dalamnya.[23]
Pengoptimalan potensi kedua ini kemudian membuat manusia mampu menjadi makhluk dengan strata tertinggi (khalīfah) melalui mujāhadah dan musyāhadah, tidak hanya di antara makhluk fisik tapi juga makhluk Tuhan yang lainnya. Tanpa mujāhadah dan musyāhadah, manusia akan lebih condong sisi kehayawaniannya yang membuatnya masih berada dalam gelapnya lingkaran dunia fisik. Sedangkan orang-orang yang mampu menyucikan hatinya, sisi malakūt-nya lebih dominan dari sisi mulk-nya, maka dia akan menjadi manusia yang dipenuhi cahaya. Merekalah orang-orang yang menapaki jalan menuju Allah swt.[24] Syekh Ibnu Athaillah menyampaikan:[25]
الكَائِنُ فِى الكَوْنِ وَلَمْ تُفْتَحْ لَهُ مَيَادِيْنُ الغُيُوْبِ مَسْجُوْنٌ بِمُحِيْطَاتِهِ، وَمَحْصُوْرٌ فِى هَيْكَلِ ذَاتِهِ (الحكمة 237)
Orang yang berada bersama makhluk yang ruang metafisik ruhani tidak terbuka untuknya, maka dia akan tertahan dalam lingkaran al-kaun (sisi kemakhlukan) dan dia akan terpenjara dalam fisik dirinya sendiri.
Manusia yang lebih dominan sisi malakūt-nya selalu melakukan introspeksi diri dengan ‘bercermin’ pada Sang Maha Pencipta melalui sudut pandang vertikal. Sudut pandang vertikal ini menjadi acuan utama untuk memahami pemikiran-pemikiran Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari selanjutnya, baik mengenai hakikat manusia, tentang ilmu, maupun tentang manusia sempurna (al-insān al-kāmil). Sudut pandang vertikal dalam memaknai hakikat manusia artinya manusia dilihat dari arah dia sebagai ciptaan Tuhan, karena itu dia harus pula kembali pada Tuhan melalui tahapan yang Dia tentukan. Sehingga tujuan manusia adalah menjadi pribadi yang benar-benar utuh sifat kehambaannya[26] pada Tuhan – istilah al-Quran disebut ‘ibād Allah as-ṣālihīn (hamba-hamba Allah yang baik). Di dalam al-Quran dijelaskan:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ [الذاريات : 56]
Artinya, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
- Hakikat Pendidikan Sufistik Menurut As-Sakandari
Dari penjelasan beliau mengenai apa itu ilmu dan apa itu hakikat manusia di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan sufistik adalah upaya manusia melakukan perjalanan hidup menuju Allah swt dengan meneguhkan sifat-sifat kehambaannya dan meresapi sifat-sifat ketuhanan Allah swt baginya. Artinya pendidikan adalah upaya tanpa henti hingga ajal untuk menjadi seorang hamba yang baik di sisi-Nya, dengan mengokohkan diri sebagai manusia dan melakukan segala upaya (amal baik) yang mungkin untuk dilakukan. Syekh Ibnu Athaillah menjelaskan:[34]
تَحَقَّقْ بِأَوْصَافِكَ يُمِدَّكَ بِأَوْصَافِهِ ، تَحَقَّقْ بِذُلِّكَ يُمِدَّكَ بِعِزِّهِ ، تَحَقَّقْ بِعَجْزِكَ يُمِدَّكَ بِقُدْرَتِهِ ، تَحَقَّقْ بِضَعْفِكَ يُمِدَّكَ بحَوْلِهِ وَقُوَّتِه (الحكمة 171)
Sempurnakan sifat (kehambaan) dirimu, maka Dia akan menolongmu dengan sifat-Nya. Utuhkan sifat kehinaanmu, Dia akan menolongmu dengan sifat kemuliaan-Nya. Dalamkan sifat kerapuhanmu, Dia akan menolongmu dengan sifat kekuasaan-Nya. Kuatkan sifat kelemahanmu, Dia akan menolongmu dengan kemampuan dan kekuatan-Nya.
Syekh Ibnu Athaillah pada ‘unwān at-taufīq fī adāb at-ṭarīq juga mengungkapkan:[35]
وَاعْلَمْ أَنَّ طَرِيْقَ القَوْمِ دِرَاسَةُ، وَحَالَ مَنْ يَدَّعِيْهَا كَمَا تَرَى. لَكِنْ اِذَا سَاعَدَتْكَ العِنَايَةُ ظَفِرْتَ وَشَمَمْتَ مِنْ نَفْحَةِ طِيْبِهِ مَا يَفُوْقُ المِسْكَ الأَذْفَرَ
Ketahuilah bahwa jalan mereka (orang-orang sufi) itu adalah pelajaran. Dan seperti yang kau lihat pengaku sufi justru menghalanginya. Tetapi jika pertolongan Tuhan membantumu, kau akanmendapatkannya dan hembusan wanginya dapat kau hirup melebihi wanginya parfum harum sekalipun.
Penggunaan kata ‘perjalanan’ ini mengindikasikan bahwa seorang pencari ilmu adalah seorang pengelana yang mengarungi jalan panjang. Karena itu banyak dalam karya beliau, peserta didik disebut dengan as-sālik yang secara bahasa artinya orang yang sedang berjalan, juga istilah al-murīd yang artinya orang yang menghendaki untuk sampai pada tujuan. Karena itu pendidikan sufistik diistilahkan dengan as-sulūk yang artinya berjalan dan at-ṭarīq yang artinya adalah jalan.Kata at-ṭarīq bahkan disebut beliau menjadi salah satu judul karyanya, ‘unwān at-taufīq fī adāb at-ṭarīq, artinya tanda pertolongan dalam menjelaskan tatakrama perjalanan.
Dalam perjalanan panjang ini, Tuhan memberi rintangan-rintangan yang merupakan ujian. Ketika seseorang dapat melewati satu ujian, dia akan melewati ujian berikutnya, dan demikian seterusnya hingga ajal menjemputnya. Rintangan itu berupa nafsu dirinya sendiri dan godaan serta bisikan setan pada hatinya. Tidaklah seseorang akan mampu melewati tiap ujian melainkan jika dia mendapatkan pertolongan dan hidayah Allah swt.
- Metode Pendidikan Sufistik Menurut As-Sakandari
Fase Pendidikan. Secara garis besar, paparan Syekh Ibnu Athaillah mengenai pendidikan sufistik dapat kita tarik menjadi satu benang merah, yaitu upaya menjadi insan kamil atau manusia dengan karakter yang sempurna. Metode yang dijelaskan oleh Syekh dapat disebut dengan istilah sulūk atau ṭariq, yang secara bahasa artinya berjalan.
Dalam sulūk, tahapan pendidikan dibagi menjadi dua fase: marhalah ta’sīs (fase penanaman dan penguatan) dan marhalah numuww (fase penyebaran dan perkembangan). Fase penanaman digunakan untuk memperkuat diri sebagai seorang manusia, menjernihkan hatinya, menstabilkan mentalnya, menguatkan jati diri, dan hal-hal lain yang dibutuhkan untuk menjadi pribadi yang matang sebelum dia memasuki fase berikutnya.
Fase penanaman dilakukan dengan metode khumūl, artinya menjauh dari keglamoran hiruk-pikuk kehidupan dan urusan-urusannya. Pada saat khumūl ini seseorang – sebelum jauh ikut campur terhadap urusan banyak orang – dia diminta untuk fokus pada penguatan dirinya sendiri, baik mental, wawasan, ilmu, dan jati dirinya. Sebelum seseorang mengejar popularitas dan menggunakannya sebagai media kebaikan, dia diminta untuk menjadi pribadi yang kuat dalam segala hal. Karena jika tidak, popularitas justru akan memberi dampak buruk bagi dirinya maupun orang lain, seperti mendahulukan kepentingan pribadi, hedonis, materialis, dan serampangan dalam mengambil keputusan tanpa disertai pengetahuan. Syekh menjelaskan hal di atas dengan mengkiaskannya pada proses penanaman tumbuhan:[36]
إدْفَنْ وُجودَكَ في أرْضِ الخُمُولِ، فَمَا نَبَتَ ممَّا لمْ يُدْفَنْ لا يَتِمُّ نِتَاجُهُ (الحكمة 11)
Benamkan dirimu di hamparan khumūl, karena tumbuhan yang tak ditanam (tertancap kuat di dalam tanah), tak akan sempurna hasilnya.
Lalu pada khumūl tersebut dilakukanlah‘uzlah, yakni waktu-waktu menyendiri dan fokus pada diri sendiri untuk memperkuat pikiran dengan ilmu, wawasan dan pengenalan (المعارف), menyucikan jiwa dari nafsu yang cenderung melakukan keburukan, dan menjernihkan hati dari perihal cinta duniawi. Hal itu semua dilakukan dengan cara tafakkur atau fikr.
Sedangkan fase penyebaran adalah saat dia memasuki dunia orang banyak, berkecimpung dalam urusan sosial kemasyarakatan dengan berbagai bidangnya. Saat itu dia diminta untuk menjadi pribadi yang menyebarkan kebaikan dan menginspirasi orang lain untuk berbuat baik.
[1]Nama gelar (‘alam laqab) yang diberikan setelah nama lahir (‘alam ism) dan tanpa dimulai dengan kata abu atau ibnu. Secara bahasa Tajuddin berarti mahkota agama.
[2]Nama gelar (‘alam kuniyah) yang diberikan setelah nama lahir (‘alam ism) dengan dimulai dengan kata abu atau ibnu. Secara bahasa abu al-Fadll adalah ayah dari kemuliaan.
[3]Nama lahir (‘alam ism) beliau yang diberikan pasca kelahirannya.
[4]Dinisbahkan pada maḍhab Malikiyah karena beliau adalah salah satu tokoh ulama maḍhab Malikiyah.
[5]Ibnu Ajibah, Ib’ād al-Ghumam ‘an īqāḍ al-Himam fī Syarḥ al-Ḥikam (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2009), hlm. 10.
[6]Ibnu Ajibah, Ib’ād al-Ghumam ‘an īqāḍ al-Himam fī Syarḥ al-Ḥikam, hlm. 10.
[7]al-Bouti, al-Ḥikam al-Aṭāiyah Syarḥ wa Taḥlīl, juz. 1, hlm. 8-9.
[8]al-Bouti, al-Ḥikam al-Aṭāiyah Syarḥ wa Taḥlīl, juz. 1, hlm. 9.
[9]Ibnu al-Mulqin, Ṭabaqāt al-Auliyā’ (Maktabah Syamelah v.3.1.2), juz. 1, hlm. 69.
[10]al-Bouti, al-Ḥikam al-Aṭāiyah Syarḥ wa Taḥlīl, juz. 1, hlm. 9.
[11]Ibnu Athaillah as-Sakandari, at-Tanwīr fī Isqāṭ at-tadbīr (Kairo: Dar as-Salam al-Haditsah, 2007), hlm. 7.
[12]al-Bouti, al-Ḥikam al-Aṭāiyah Syarḥ wa Taḥlīl, juz. 1, hlm. 9, Umar Ridla Kuhalah, Mu’jam al-Muallifīn (Maktabah Syamelah v.3.1.2), juz. 4, hlm. 140.
[13]Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 352.
[14]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT. Al-Maarif, 1981), hlm. 19.
[15]A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 16.
[16]Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan Islam; Analisis Pemikiran Prof. Dr. Syed Muhammad al-Naquib al-Attas(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 36.
[17]Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, hlm.1352.
[18]Syamsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hlm. 3.
[19]Abu al-Wafâ at-Taftazâni, Madkhal ilâ at-Taṣawwuf al-Islâmi, hlm. 8.
[20]Syamsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hlm. 9.
[21]Menurut Paul Tillich dalam Musa Asy’arie, esensi adalah alam potensial sedangkan eksistensi adalah alam aktualisasi dari potensi. Musa Asy’arie menambahkan bahwa eksistensi berada dalam hubungan-hubungan kongkret, baik vertikal maupun horizontal dan bersifat aktual. Lihat: Musa Asy’arie, Filsafat Islam; Sunnah Nabi dalam Berpikir (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 50-51.
[22]Ibnu Athaillah as-Sakandari, al-Ḥikam al-Aṭāiyah lampiran dalam Ahmad Zarruq, SyarḥḤikam Ibn Aṭaillah, hlm. 435.
[23]al-Bouti, al-Ḥikam al-Aṭāiyah Syarḥ wa Taḥlīl, juz. 5, hlm. 223.
[24]Ibnu Ajibah, Ib’ād al-Ghumam ‘an īqāḍ al-Himam fī Syarḥ al-Ḥikam, hlm. 330.
[25]Ibnu Athaillah as-Sakandari, al-Ḥikam al-Aṭāiyah lampiran dalam Ahmad Zarruq, SyarḥḤikam Ibn Aṭaillah, hlm. 435.
[26]Menurut Abul Abbas al-Mursi sifat kehambaan dibagi menjadi tiga: al-‘ibādah, al-‘ubūdiyah, dan al-‘ubūdah. Al-‘ibādah adalah sifat kehambaan dari sisi perilaku, yakni dengan melakukan perintah dan menjauhi larangan, tunduk pada aturan syariat. Dalam bahasa yang lain diistilahkan dengan islām atau syarīah. Lalu al-‘ubūdiyah adalah tahapan menyadari hakekat syariat dengan memahami konsekuensi sifat kehambaan diri. Al-‘ubūdiyah adalah sifat kehambaan dari sisi kesadaran dan keyakinan. Dalam istilah lain disebut īmān dan haqīqah. Sedangkan al-‘ubūdah adalah tahapan menyaksikan Allah Yang Maha Benar di dalam hati. Al-‘ubūdah adalah sifat kehambaan dari sisi perasaan ruhani. Dalam istilah lain juga disebut ihsān dan tahaqquq. Lihat: Ahmad Zarruq, Syarḥ Ḥikam Ibn Aṭaillah, hlm. 9.
[27]Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, hlm. 544.
[28]Abul Husain, Mu’jam Maqāyīs al-lughah, juz. 4, hlm. 110.
[29]Abu Hamid Al-Ghazali, ar-Risālah al-Ladunniyah (Mesir: al-Maktabah al-Mahmudiyah at-Tijariyah, tt), hlm. 4.
[30]Abdul Malik Al-Juwaini, Al-Waraqāt (Surabaya: al-Haramain, tt), hlm. 5.
[31]Ibnu Arabi, Insyā’ ad-Dawāir (Lidin: Maṭbaah Bril, 1336 H), hlm. 11.
[32]Ibnu Athaillah as-Sakandari, al-Ḥikam al-Aṭāiyah lampiran dalam Ahmad Zarruq, SyarḥḤikam Ibn Aṭaillah, hlm.434.
[33]Ibnu Athaillah as-Sakandari, al-Ḥikam al-Aṭāiyah lampiran dalam Ahmad Zarruq, SyarḥḤikam Ibn Aṭaillah, hlm.434.
[34]Ibnu Athaillah as-Sakandari, al-Ḥikam al-Aṭāiyah lampiran dalam Ahmad Zarruq, SyarḥḤikam Ibn Aṭaillah, hlm. 432.
[35]Ibnu Athaillah as-Sakandari, ‘Unwān at-Taufīq fī Adāb at-ṭarīq (Mesir: al-Kutbiy, tt), hal. 10.
[36]Ibnu Athaillah as-Sakandari, al-Ḥikam al-Aṭāiyah lampiran dalam Ahmad Zarruq, Syarḥ Ḥikam Ibn Aṭaillah, hlm.423.